Kamis: Gerimis dan Tangis

Cerita ini adalah realita dari sebuah suara hati yang saya sharing-kan di facebook beberapa minggu yang lalu. Barisan kata yang saya rangkai menjadi kalimat berikut:"Saya siap menangis dalam kehilangan dan harus siap menangis pula dalam rasa kehilangan yang paling besar, KEMATIAN", ternyata bukanlah sebuah kalimat yang tanpa makna.

Sebelumnya saya tidak pernah menyangka kalau kalimat yang saya susun untuk menggambarkan kekuatiran saya kala itu akan benar-benar terjadi sesudahnya. Hari itu, Kamis 23 Juli 2009, langit tidak secerah biasanya. Awan kelabu memaksa langit mengucurkan tetesan-tetesan peluhnya. Ini adalah hujan pertama setelah teriknya matahari menguasai hari-hari dalam bulan ini. Perubahan ini cukup meningkatkan rasa malas saya untuk melangkahkan kaki ke jalan. Apa daya, saya pun harus mengusir rasa malas itu untuk kembali menunaikan kewajiban sebagai pekerja.

Rupanya saya hanya berhasil melakukannya di perjalanan. Sesampai tempat saya bekerja pun, rasa malas itu kembali datang. Hasilnya, tidak satu pekerjaan pun bisa saya selesaikan dengan baik. Kehadiran teman lama menambah tumpukan pekerjaan yang tertunda tetapi cukup untuk mengisi sebagian ruang di hati saya dengan kebahagiaan. Sedikit bernostalgia dengan berlembar-lembar cerita lucu dan naif di masa lalu mendorong saraf-saraf tawa di sekujur tubuh saya bekerja dengan sangat baik dan berlangsung dalam sekian jam pada siang itu.

Kalau saya pikir-pikir sekarang, mungkin hal itu dianugerahkan pada saya sebagai pemanasan agar saya tidak kaget menghadapi peristiwa memilukan di malam harinya yang terjadi persis seperti apa yang saya kemukakan di awal cerita ini. Gerimis yang turun sepanjang hari ini mungkin juga adalah salah satu bentuk rasa solider sang alam terhadap kesedihan saya. Bermula dari perbincangan saya melalui sms dengan orang terdekat malam itu. Sebuah masalah yang sama kembali ia utarakan dan kali ini lebih berat. Tidak mungkin saya hanya jadi pendengar saja. Kata demi kata saya lontarkan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini. Tetap saja menemui jalan buntu. Malah, yang ada di benak saya adalah kekuatiran bahwa saya akan kehilangan sesuatu, lebih tepatnya orang yang mengirimi saya sms tadi.

Di tengah derai air mata yang harus saya tahan karena berdampingan dengan orang tua yang tidak mungkin harus saya libatkan dengan dilema yang saya hadapi, telepon berdering dan suara berat di ujung telepon yang lain memberi kabar bahwa saya harus menerima kenyataan kalau saya sudah kehilangan yang lain. Ya, yang lain. Bukan orang yang sedari tadi saya pikirkan dan bukan hanya hilang di suatu tempat dimana suatu saat saya bisa menemuinya kembali. Tetapi hilang ke sebuah alam yang belum pernah saya singgahi dan menakutkan bagi banyak orang. Dia adalah seorang perempuan yang ditakdirkan sedarah dengan saya. Seorang perempuan renta yang syarat dengan pengorbanan di masa hidupnya. Dan sekarang saya sudah tidak bisa menyaksikan sosok nenek dalam balutan kebayanya. Saya sudah tidak bisa merasakan atu sekedar mencicip masakannya lagi. Masakan yang sudah jarang diolah oleh perempuan-perempuan masa kini.

Sepanjang malam saya terisak dalam sesal, mengutuki keegoisan saya yang berkepanjangan hingga saya mengabaikan apa yang namanya peduli. Bahkan orang yang sedarah dengan saya. Saat-saat menjelang kepergiannya, saya malah asyik dengan mimpi-mimpi semu yang kalaupun diwujudkan tidak akan menguntungkan siapapun, hanya kepuasan semu pula yang saya dapat.

Ya sudahlah. Saya pun sudah sangat ikhlas karena di balik kesedihan yang terjadi selalu ada sisi positifnya. Itulah yang saya percayai. Dan karena kepercayaan itulah saya menjadi kuat. Meskipun saya yakin saya belum sempurna, setidaknya saya mempunyai keinginan untuk merubah diri saya menjadi lebih baik. Untuk tidak melulu berprasangka buruk pada kehidupan yang keras. Keras tidak selalu buruk kan?

Saya jadi teringat pada tulisan terakhir saya. Waktu itu saya seperti berada di atas awan. Setelah sekian lama tidak merasakan hal yang seperti itu, saya seakan berada di puncak kebahagiaan. Dan sekarang saya rela untuk terbenam dalam lembah kesedihan yang amat curam. Kehidupan saya jungkir-balik dalam waktu yang bisa dibilang sangat singkat.

Kalau sekarang saya sangat sedih, itu wajar kan? I'm human with many weakness in my body and soul. Yeah..like you. And then, we must be survive in any situations. Don't ever give up and do better than yesterday.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung! Silahkan dikomeni, Monggo!